February 7, 2011

Di Balik SebuahTrotoar jalan raya

Di kota besar seperti Kota Bandung, trotoar menjadi keharusan dalam setiap pembangunan jalan. Ironisnya trotoar menjadi tidak efektif bagi lalu lintas kendaraan karena pejalan kaki akhirnya harus masuk ke jalan utama. Rebutan ruang antara pejalan kaki dan kendaraan bermotor bukan tanpa sebab. Sebuah trotoar menjadi tempat berkumpulnya berbagai jenis kepentingan. Kepentingan ekonomi, kepentingan teknologi dan kepentingan lainnya.

Bayangkan, untuk kedua kepentingan saja, trotoar yang lebarnya hanya satu sampai dua meter harus memikul beban yang banyak. Banyak orang yang berkepentingan dalam satu trotoar. Berdagang misalnya, trotoar menjadi lahan yang subur bagi aktivitas perekonomian ini. Banyak trotoar yang beralihfungsi dari ruang yang semula diperuntukan bagi pejalan kaki menjadi areal dagang. Contoh saja di pelataran Bandung Indah Plaza, Trotoar dipagar sedemikan rupa, tetapi pagar tersebut menjadi semacam etalase bagai para pedagang. Pejalan kaki akhirnya mengalah tumpah ruah kejalan raya. Akibatnya Jalan Merdeka macet. Trotoar adalah tempat yang strategis, tempat yang bisa mendatangkan hasil yang lumayan.
Selain untuk aktivitas ekonomi, trotoar juga tempat berkumpulnya kepentingan teknologi informasi. Dibawah trotoar itu jangan dianggap tidak ada aktivitas. Pada mulanya, dibawah trotoar adalah tempat drainase jalan. To drain untuk mengeringkan, sebagai saluran air. Ya, dibawah trotoar terdapat saluran air yang mengalirkan air buangan yang jatuh kejalan. Idealnya, saluran ini diperuntukan agar tidak terjadi genangan di badan jalan ketika hujan terjadi. Tetapi kondisi realnya, saluran drainase dibawah trotoar tidak mampu menampung banyak air hujan. Gorong-gorong menjadi macet, akhirnya air luber kembali ke jalan. Jalanan akhirnya menjadi tergenang, fenomena selanjutnya disebut banjir cileuncang.
Banjir Cileuncang adalah kejadian yang temporer tetapi dampaknya bisa permanen. Salah satu contoh kerusakan akibat Cileuncang adalah konstruksi jalanan yang rusak seperti bolong-bolong. Selebihnya jalan yang rusak karena cileuncang pun akan berdampak pada kemacetan karena pengendara kendaraan baik itu roda dua maupun roda empat akan memilih-milih jalan. Daerah yang sering langganan banjir cileuncang meliputi daerah Antara perempatan Jalan Soekarno-Hatta dan Jalan Terusan Pasirkoja, Sukajadi, Pagarsih, Babakan Tarogong dan Jamika, sebagian daerah Cimahi pun tidak luput dari fenomena ini seperti Cimindi, Cijerah dan Cibabat. Di kabupaten Bandung banjir cileuncang terjadi di Jalan Raya Dayeuh Kolot.
Cileuncang yang menggenangi jalan terjadi juga karena besarnya air permukaan yang mengalir tidak sebanding dengan luas permukaan saluran drainase. Saluran drainase yang ada menjadi tidak optimal karena banyaknya sampah yang menyumbat saluran atau sedimentasi yang tidak terkendali. Disamping banyaknya kepentingan terhadap saluran drainase yang sulit terkontrol. Salah satu contoh kepentingan yang sulit terkontrol adalah instalasi kabel optic yang dikubur sepanjang jalan sedikit banyak bisa membuat saluran drainase menyempit atau mengecil dari lebar sebelumnya.
Kabel optik yang menjalar sepanjang jalan ini keadaannya memang tidak bisa dikontrol karena tersembunyi dibawah sehingga tidak terlihat secara langsung. Untuk melihat ini, coba tengok saja ketika musim kemarau, banyak galian-galian sepanjang trotoar yang dilakukan oleh instansi terkait. Kabel yang menjalar dibawah trotoar itu tidak hanya satu, tetapi bisa puluhan dengan jarak menjalar yang lumayan panjang, bisa jadi menghubungkan antar kota satu dengan kota lainnya. Repotnya bila terjadi kerusakan pada salahsatu jaringan kabel. Trotoar dibongkar lagi, lalu di tutup lagi. Yang lebih repot tentu saja kalau musim hujan, air yang mengalir tentu dihindari masuk ke bawah trotoar, jalan satu-satunya menghindari air masuk lubang galian, dan jalan raya menjadi alternatif pelimpahan sementar air yang mengalir. Akibatnya bisa ditebak lagi, banjir cileuncang lagi.
Pengaturan dibalik berbagai kepentingan ini dibawah trotoar sepertinya belum ada, artinya semua jalan masing-masing saja. Kalaupun ada masih sebatas larangan berjualan di atas trotoar, itupun penegakannya belum optimal. Khusus untuk regulasi di bawah trotoar, selama tidak ada yang dirugikan, maka gali menggali akan terus dilakukan. Pejalan kaki harus sabar menerima kondisi tak punya ruang untuk berjalan kaki. Pengendara harus tahu diri untuk berbagi ruang jalan dengan pejalan kaki. Harus saling mengerti karena demikianlah trotoar. Trotoar tidak selebar jalan raya, kecil dan bahkan dilupakan pentingnya oleh pejalan kaki dan pengendara kendaraan bermotor. Tetapi trotoar memiliki peran yang signifikan dalam memperlancar arus lalu lintas, sepertinya regulasi tentang peran dan fungsi trotoar harus dijalankan secara konsisten agar kenyamanan bisa dirasakan semua pihak.
Terimakasih

No comments: